Wednesday 1 July 2009

Catatan Terakhir

Harapan ini selalu muncul di pagi yang baru, terpancar dalam bingkai mimpi yang belum sempurna, tersamarkan dalam jalan terjal yang akan dilalui dalam lekuk-lekuk kehidupan pada sebuah coretan yang bernama hidup. Begitu banyak pilihan yang harus dipilih, begitu banyak kenyataan yang harus diterima, pahit dan manis yang harus dirasakan. Sejuknya pagi, panasnya siang dan malamnya yang dingin akan selalu datang tanpa bisa dicegah, kadang menyapa…, kadang membelai…, kadang menghantam…, atau sekedar lewat dan hanya melintas. Hidup dalam kesunyian adalah rasa sakit yang tak pernah disadari, walau alam telah menghampar luas di luar sana namun tetap tak mampu menyediakan jawaban yang kucari.

Semua berawal saat kegelapan mulai menutupi terang, ketika alam dan isinya mulai menguap dan kehidupan telah bersiap-siap untuk memasuki keheningan. Cawan-cawan yang berisi air mata pun mulai mengeringkan diri, menumpahkan keluar semua kesedihan yang selama ini menggenangi rekung-relungnya. Jerat tali yang mengikat mulai dilepaskan, membebaskannya dari ketakutan akan kenyataan. Serpihan hati yang berserakan mulai menyatukan diri dan cerita-cerita yang terpencar mulai berkumpul tuk membentuk keyakinan akan sebuah keputusan, membangunkan jiwa yang selama ini tertidur dan mensucikan diri dari kegelisahan hidup. Aku akan pergi…, berusaha menyamarkan jalan terjal yang telah kulalui. Memberi kekuatan pada pijakan kaki dan mulai melangkah meninggalkan kebisingan untuk menuju ketenangan. Aku akan pergi melayang di langit luas tanpa batas, berputar bersama burung kebebasan dalam dekapan malam. Aku akan bebas menuju bintang yang bersinar terang, bersama pilihan yang telah ditentukan, beranjak dari tempat yang menghempaskan diri dan pergi melepaskan hati dari penantian yang tak kunjung datang. Aku berdiri disini, diatas kehidupan yang tak kuyakini dan tak kuharapkan, untuk menghentikan waktu dan menutup hari, membubuhkan tanda titik pada nafas-nafas jiwaku dan mengucapkan selamat tinggal pada semua yang terkasihi. Wahai engkau malam…, cepatlah datang…, mendekatlah dan rengkuh jiwaku bersama dingin dan sunyinya tiupan udara mu, kau kan bawa diriku pergi menembus kegelapan ini, meniupnya laksana bunga kapas yang melayang ringan diantara kabut suram. Wahai engkau angin…, datanglah bersama maut yang kuharapkan, berkati pisau ini dan singkirkan keraguan yang tersisa saat kumulai menghujam dadaku dan menghentikan detak keindahan dari jantungku. Wahai engkau alam…, telah kau hamparkan tempat tidur kematianku…, tunggu aku sesaat sampai hembusan nafasku yang terakhir lewat, karena aku akan segera berbaring diatasnya bersama jasad yang kan kutinggal untukmu. Selamat tinggal semua yang terkasihi…, aku akan pergi sebelum hujan turun dan memercikkan butiran airnya pada jiwaku, yang akan membuat benih-benih kehidupan kembali tumbuh menghiasi hatiku. Selamat tinggal semua yang terkasihi…, aku akan pergi sebelum badai datang dan menghalangi perbuatanku. Selamat tinggal semua yang terkasihi…, aku akan pergi sebelum matahari membuka matanya, sebelum pagi berlari ke arahku dan memasukkan setitik cahaya pada jiwaku yang gelap. Selamat tinggal semua yang terkasihi…, aku akan menyembunyikan semua catatan hidup dan segera menutup buku jiwaku, sebelum orang-orang itu datang dan membaca apa yang akan aku tulis. Selamat tinggal semua yang terkasihi…, aku akan menumbangkan sendiri pohon kehidupanku, merubuhkannya dengan tanganku sendiri sebelum takdir yang membinasakannya.

Lanjutkan...... Read more...

Saturday 20 June 2009

Sekarat Wajah Itu

Bukan sekarat, tapi dua puluh empat karat wajah itu, begitulah aku menyebutnya karena wajah itu telah mengendap sekian lama dalam otak bawah sadarku. Gerimis sore bulan juni, bergumpalan awan hitam dilangit, kukemasi semua pakaian, barang2 elektronik, dan segenap mental, yah… cukuplah untuk bekal perjalanan abu – abu, meninggalkan pulau sendiri menuju pulau itu. Dalam benakku apa oleh – oleh yang pantas untuknya ya, apakah akan kubawakan bunga, boneka atau hal – hal yang seperti itu, “ah nggilani tenan….”, sedang celurit, badik atau ketapel raksasa bukanlah hal yang romantis. Dalam perjalanan pikiranku kian suntuk oleh wajah dewi senja,akankah dia berubah karena lama telah tertinggal, “ah… waktu boleh berlalu tetapi asmara tetaplah asmara yang akan mengabadi dalam sebuah masa”, begitulah aku mengejanya karena telah sekian lama tidak berjumpa. Setelah kejang beribu hari dalam beratus purnama, kini aku lumpuh di depan pintumu, tak sanggup aku berdiri membayang tapakmu. Dua puluh empat karat wajah itu, jangan kau kunci pintumu dari dambaku

Lanjutkan...... Read more...

Friday 19 June 2009

Bodoh Itu Modis

“Kapan tepatnya kebodohan menjadi sesuatu yang modis? Itu satu hal yang sama sekali tidak bisa kumengerti. Pengkultusan Idiot. Penaikan Derajat pada Orang Bego. Dua novelis paling laris kami, aktris yang payudaranya besar dan orang gila mantan tentara itu, tidak pernah menulis sepatah katapun kau tahu?” “Cara bicaramu seperti orang yang sudah tua, Roy,” ujarku padanya.”Orang-orang sudah mengeluh soal penurunan standar itu sejak Shaskepeare menulis komedi.”

Cuplikan antara tokoh Aku dan Roy Quigley di atas sengaja saya kutip dari novel The Ghost karangan Robert Harris sebagai pembuka dari tulisan saya kali ini. Dalam cuplikan dialog pendek, eh bukan pendek deh tapi sangat pendek di atas tergambar bagaimana pendapat kedua tokoh di atas yang kontrdiktif mengenai masalah yang akan saya ulas. (aduh… gaya pisan urang geus kawas pakar naon kituh….) Bodoh itu modis. Setujukah kita dengan pendapat di atas? Jawabannya tergantung pada pribadi masing-masing. (hehe kalimat standar dari seorang penulis amatir….) Tapi kalo saya pribadi sih cukup setuju dengan kalimat di atas. Maaf buat para dulur yang gak setuju. Tapi saya punya alesan tersendiri kenapa bodoh itu bisa dikatakan modis. Bukan karena saya bodoh tapi terlihat modis tentunya (kalo yang ini sih terserah mau nilainya gimana, weh weh weh….) Bodoh, tolol, bego, atau apalah namanya itu buat saya terasa modis karena kebodohan bisa diconvert menjadi sesuatu yang ‘pintar’ melebihi kepintaran itu sendiri. Kalo gak percaya sebaiknya kita tanya om Einstein aja. "The secret of creativity is knowing how to hide your sources." Tuh bener teu? Kata Om Einstein aja rahasia kreativitas itu tahu bagaimana menyembunyikan potensi, singkatnya jadi bodoh. Jadi kalo ada yang beranggapan bodoh itu modis, itu bener banget Albert Einstein aja percaya kalo jalan untuk menjadi kreatif tu harus dilalui dengan menjadi bodoh terlebih dahulu. Karena sudah jadi kodrat kalo manusia itu bodoh. Jadi jangan heran kalo di jaman sekarang ini orang mulai jenuh dengan sesuatu yang pintar, kemudian beralih melakukan tindakan-tindakan bodoh. Bahkan sampai kebodohan terekstrim ala JACKASS. Salut saya ama Jonny Knoxvile dan kawan-kawan yang sanggup mengeksploitasi kebodohan sampe dasar-dasarnya. Satu hal yang istimewa dari orang bodoh. Orang bodoh tidak akan kecewa ketika menemukan dirinya menjadi pintar di suatu hari, tapi orang pintar tidak selalu menerima ketika suatu saat dirinya mendadak bodoh. Jadi teruslah menjadi orang bodoh yang selalu mencari kepintaran di depannya. Jangan berhenti merasa diri kita ini bodoh karena, dengan merasa bodoh kita akan terus mencari jalan menjadi pintar. So, Be Stupid in a smart way

Lanjutkan...... Read more...

Antara Sandiwara, Sastra, Dan Pemilu

Betapa pun geniusnya seseorang tapi bila menjelaskan sesuatu hal terkadang kata-kata yang menghiasi bibirnya merujuk ke arah tak pasti. Sebutlah kata-kata “kemungkinan”, “biasanya”, “tidak biasanya”, “sepertinya”, “kayaknya”, dan lain-lain. Kata-kata seperti ini dengan semena-mena digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal dan perihal.Semua orang ingin berbicara, ingin disebut serba tahu, walau hanya sok tahu, ingin disebut paling taat peraturan, taat hukum dan tahu hukum. Sayangnya banyak dari mereka tak tahu diri. Begitulah.

Semuanya ingin seperti para pengacara, bermain kata-kata. Bila mereka tidak bisa memecahkan sesuatu masalah, mereka membuat konsep-konsep aneh. Jalaluddin Rakhmat menyebutnya sebagai konsep instink(naluri). Mengapa perempuan berhias? Karena ia memiliki naluri keperempuanan. Mengapa laki-laki senang kepada perempuan? Karena ia memiliki naluri kelaki-lakian (Maaf! Ada sebagian laki-laki yang tak punya naluri terhadap perempuan, misal Ryan-Sang Penjagal dari Jombang beserta “habitatnya”). Seorang ahli bahasa dari Massachusets Institute of Technology bernama Noam Chomsky menyebut gejala ini sebagai “Play-acting at science” (bermain sandiwara dalam ilmu). Akhir-akhir ini gejala itu kian menggejala. Tapi kali ini saya menyederhanakan istilah Noam Chomsky “Play-acting at science” menjadi “Play-acting at words” (bermain sandiwara dalam kata-kata), atau cukup “Play acting” (bersandiwara). Seiring dengan datangnya Pemilu, pun gejala ini semakin merajalela. Bermain-main kata dan bermain kata-kata Fenomena yang sangat menarik menjelang pemilu adalah fenomena bermain-main kata dan bermain kata-kata. Sandiwara kata-kata itu sebagai lipstik untuk memenangkan dan menyenangkan hati pemilih. Lihatlah para kandidat bermain-main kata! Karena namanya Rahman, ia mengaku paling mengasihi rakyat miskin, Rahman dalam bahasa Arab memang berarti pengasih. Ataukah karena namanya Rahim, ia berkoar-koar paling menyayangi rakyat kecil. Lalu lihatlah pula para kandidat lainnya bermain kata-kata, mereka membuat akronim-akronim “aneh” seperti “Obama??%9

Lanjutkan...... Read more...

Friday 12 June 2009

Senandung Hujan

Puisi ini sebenarnya cukup disampaikan oleh bait terakhir saja. Dua bait sebelumnya justru malah menghilangkan maksud yang hendak disampaikan—rumit dan membingungkan.

(Kutemukan bayangmu tak lagi menjelma riuh gemericik hujan)

Bait ini cukup terang. Kau di sana adalah sebuah bayang yang tak lagi menjelma riuh gemericik hujan. Tapi begitu memasuki baris kedua, saya sebagai pembaca mengalami kebingungan

(Seperti seringkali kau menangkap kerinduan di balik rinainya)

Kalimat ini jika berdiri sendiri dia memang bisa dibaca dan terang maknanya. Tetapi jika dikaitkan dengan baris sebelumnya, kata “seperti” di baris kedua ini tidak berkaitan dengan baris yang mendahuluinya. Coba mari kita cermati lagi. Si aku lirik menangkap bayang seseorang yang tidak lagi seperti dulu (riuh gemericik hujan), seperti seseorang tersebut menangkap kerinduan di balik rinainya. Logika kalimat dasar perumpamaan “A seperti B”, atau “sesuatu seperti C”, sama sekali tidak saya temukan dalam 2 kalimat tersebut. Bagi saya, jalinan kalimat tersebut tidak bisa dimengerti. Indah. Tapi tak berarti apa-apa.

(Dan semilir yang setia menggugurkan cemas kering dedaunan Bukan lagi basah yang kian menggenang di balik kelopak mataku)

Kalimat berikutnya juga mengalami hal yang serupa. Saya coba memeriksanya beberapa kali dan mengalami kebingungan yang sama dengan baris sebelumnya.

(Dan semilir yang setia menggugurkan cemas kering dedaunan)

Pertanyaan adalah apanya yang ‘semilir’? Angin? Mungkin karena biasanya kata semilir menyertai angin. Tapi bisa juga tidak. Dan semilir tidak sama dengan angin. Kemudian ‘kecemasan’ yang datang dari mana? ‘Kering dedaunan’ sedang menggambarkan apa? Tentu saja sebagai kalimat yang berdiri sendiri ia tak mengalami persoalan apa-apa. Tetapi begitu dikaitkan dengan baris sebelumnya, dan baris-baris selanjutnya, persoalan pemaknaan mulai muncul. Apalagi dengan tegas penulis mengaitkannya dengan menggunakan kata ’dan’ di awal kalimat. Apa hubungannya dengan 2 kalimat pertama yang juga belum terjelaskan itu?

(Bukan lagi basah yang kian menggenang di balik kelopak mataku)

Kalimat berikutnya nampaknya koheren dengan kalimat sebelumnya. Ia mencoba menerangkan. Tapi berhubung yang diterangkannya masih bermasalah, maka ia jadi tak berarti apa-apa. Kepekatan puitik berbeda dengan kegelapan yang dihasilkan oleh sesat pikir atau cacat logika. Apa yang dimaksud dengan “bukan lagi” di dalam kalimat tersebut? “bukan lagi” tidak ditampilkan dalam kalimat sebelumnya, tapi mewujud di kalimat berikutnya seolah-olah pembaca sudah mengetahui apa yang dimaksud oleh penyairnya. 4 baris di bait pertama ini seperti lanturan yang tak berujung pangkal, tak berkait satu sama lain. Tampaknya saja berkaitan hanya karena mereka dikelompokkan. Tampaknya saja indah, tetapi tak menyampaikan apa-apa.

Bait kedua saya rasa meruntuhkan bait pertama yang sudah runtuh sejak semula.

(Badai yang datang tak getarkan liar ilalang di hatiku Petir bersahutan tak menghapuskan hamparan lapang Satu dua bocah berbasah riang ditingkah derasnya hujan Dan perjalanan kali ini seolah tak menyisakan apa-apa)

“Badai” dan “petir “yang datang dari manakah? Bait pertama bukankah seakan sedang menggambarkan kekeringan, seakan sedang menolak hujan, atau kehilangan hujan? Hujan memang terus disebutkan di bait pertama, tapi dalam keadaan tak lagi berlangsung. Bait kedua sebenarnya selamat dalam hal logika. Kalimat-kalimatnya saling menunjang satu sama lain. Tapi ada kejutan di kalimat terakhir:

(Dan perjalanan kali ini seolah tak menyisakan apa-apa)

O, sedang dalam perjalanan rupanya. “mengejutkan” memang, karena sama sekali tak ada tanda-tanda sebelumnya.

Lalu puisi ini dilanjutkan atau ditutup lagi oleh kalimat:

(: Seperti kepulanganmu yang terlalu deras untuk kurindukan)

Dan ternyata puisi ini adalah perihal kepulangan seseorang yang terlalu deras untuk dirindukan. Tapi terlalu deras di sini tak cukup menjelaskan. Apakah dengan kederasan tersebut dia bisa tetap dirindukan atau tidak.

Puisi bukanlah sejumlah otak-atik bahasa atau kata yang indah. Ia hendak menyampaikan sesuatu. Pertaruhannya adalah bagaimana ia menyampaikan sesuatu itu dengan cara yang luar biasa. Bisa jadi tak indah, tapi ia menyentuh. Puisi hanya cara menyampaikan. Ia bukan tujuan. Puisi juga tak identik dengan berindah-indah, dituliskan dengan kalimat yang rumit, juga metafora yang gelap. Puisi adalah cara kita menyampaikan hal-hal yang kita lihat dan rasakan, bukan sekadar permainan kata belaka. Bisa saja memang kita mencipta puisi lewat permainan kata. Tetapi apa yang tercipta dari permainan tersebut tentu saja harus kita pertanggungjawabkan. Menulis puisi bukan lempar batu sembunyi tangan. Sembunyi di balik kegelapan makna dan ketidakjelasan arti dan maksud.

Mungkin penulis harus mencoba memulai dari yang sederhana saja. Tidak berumit-rumit lalu malah tersesat dan menyesatkan pembaca. Puisi juga bisa sederhana dan apa adanya. Dan keindahan akan lahir dengan sendirinya.

Lanjutkan...... Read more...

Wednesday 10 June 2009

Penghikayat Ular

[ Minggu, 31 Mei 2009 ] Adam, berapa tahun kita terusir? Apa 100, apa 1000, apa 2000 tahun? Kita lupa bukan? Tak apa. Yang pasti, perut kita telah menggelambir. Rambut merontok. Dan sebagian gigi menghitam. Menghitam seperti hati kita yang begitu lama dipanggang oleh matahari yang merendah. Matahari yang menghanguskan ingatan yang berlompatan.

Berlompatan seperti tupai yang nakal. Nakal dari satu pohon ke pohon yang lain. Dari satu dahan ke dahan yang lain. Lalu berhenti pada sebuah pucuk. Sambil memandang langit yang tersaput awan. Awan yang berbentuk angka delapan. Angka delapan yang melingkar-lingkar. Seperti lingkaran yang dibikin oleh si ular dulu. Si ular yang dengan licik mendesis di kuping kita. Menyodorkan Yang Terlarang. ''Hai, mengapa tak kalian ambil saja,'' kata si ular. ''Tapi, ini terlarang.'' ''Apanya?'' Dan kita tercekat. ''Sudahlah ambil saja. Dan makan secepatnya.'' Dan kita ragu. Dan entah mengapa, kita pun mengambil Yang Terlarang itu. Terus memakannya. Memakannya dengan sebat. Sampai habis. Sampai kita merasa sudah tak ada lagi yang tersisa. Dan si ular pun zleb menjelma segumpal gelap yang begitu luas. Yang saking luasnya tak ada lagi celah yang dapat kita lihat. Hanya suara bening yang terdengar. Suara bening yang begitu tak kita mengerti. Tapi seperti membuka sebuah lorong untuk kita susuri. Lorong yang menuju pada pintu yang terbuka. Pintu yang mengantar kita pada keterusiran dan keterpisahan. Dan pintu yang segera menutup. Menutup juga segala yang ada di belakang kita. Adam, apa julukanmu masih tetap? Tetap dengan huruf yang seperti pohon mangga, petir hijau dan kucing liar yang punya mata berkaca itu? Huruf yang selalu meringkuk di lekuk lidah. Dirubung mimpi tentang pasir yang selalu menggigil. Dan juga tentang meteor yang tiap malam menghunjam. Membuat kita menyebuti nama Bapa yang ada di mana saja. Bapa yang mulia itu. Dan Bapa yang telah mengajarimu segala hal. Mulai dari memasak, bertani, menghitung sampai bersepeda di pantai. Bersepeda sambil bernyanyi. Bernyanyi dengan suara yang lantang. Suara yang berdentang. Yang berisi tentang hidup yang terbang. Menukik. Memotong. Menaik dan menyeberang. Sambil terus menelisik: ''Mana tempat yang penuh pinus. Mana yang penuh kaktus. Dan mana pula yang demikian membentang. Membentang dengan humus yang setebal kamus.'' Lalu jika pegal, kau pun berhenti kemudian memancing. Memancing bersama kura-kura. Si binatang yang bercangkang purba. Si binatang yang berjejer dengan jumlah yang tak terhingga. Yang suaranya menguik-nguik. Si binatang yang akan mengantarmu ke tempat-tempat yang sedap. Baik dengan pelan ataupun kebat. Dan kau pun bahagia. Tawa berderai. Lumut, ganggang dan kerang yang mengintip pun saling mengangguk-angguk. Seperti anggukan sekian cahaya yang pernah bersujud di depanmu. Cahaya yang berlesatan dengan kekuatan gaib yang begitu sempurna. Cahaya yang putih berkilau. Yang selalu memandangmu penuh ketakjuban. Ketakjuban yang demikian telah mewarnai lingkaran di kepalamu. Lingkaran yang akan membuat semuanya tertegun. Sebab akan mengangkat yang jatuh jadi terbangun. Yang terbangun jadi berlari. Dan yang berlari akan melesat seperti anak panah yang lepas dari busur. Sebab memimpikan sepercik titik di matamu. Titik di mata yang begitu indah ketika melihat bintang-bintang yang membuar. Bintang-bintang yang sesekali kau petik. Lalu kau selipkan di selipan kupingku. Kuping yang bergiwang hijau yang murni. Hijau yang juga turut mengangguk-angguk. ''Aku ingin hidup selamanya denganmu, Hawa,'' katamu. ''Aku juga,'' jawabku. ''sungguh?'' ''Sungguh.'' Lalu kita pun merasa tubuh ini menjelma laut. Laut yang dalam. Laut yang berisi sekian jenis ikan yang bersirip bianglala. Bianglala yang membawa kita kadang ke atas. Kadang ke bawah. Berguling-guling. Bertumpang-tindih. Saling-rengut. Saling pagut. Seperti pagutan dua warna yang diseduh. Dua warna yang sering mewarnai bentangan kakilangit yang jauh. Kakilangit yang membuat kita sering salah menebak. Menebak kelinci ternyata zebra. Menebak zebra ternyata cuma bayangan kayu yang meranggas. Yang tua dan seram. Dan yang membuat kita terus berpegangan. Berpegangan erat. Agar tak lepas. Agar ketika telah selesai, kita pun jadi tahu, jika pantai pun kembali menerima kita dengan kelegaannya. Kelegaan yang begitu mendebarkan. Adam, kini kerjamu apa? Bangun, berak, tidur dan sesekali berkenalan dengan si penyunting. Ataukah seperti si pemahat yang memahati tebing? Sampai tebing berdarah. Dan nyawanya terlepas. Tepat di hari tanpa kutuk. Kutuk tentang perairan semata. Perairan dengan kisah penolakan yang tak kita pahami. Kisah penolakan yang bermuara pada tanya: ''Mengapa di tempat asal kita dulu masih ditanami Yang Terlarang?'' Apakah memang begitu adanya? Ataukah hanya bagian riwayat yang mesti kita alami? Riwayat yang merupakan bagian dari sebuah ujian: ''Ujian kita!'' Lalu untuk apa? Apa perlu sesuatu yang telah dibikin dengan matang itu diuji, diuji, dan diuji terus? Ah, aku pun jadi teringat pada si ular dulu. Si ular yang mendesis. Si ular yang tak mau bersujud padamu. Yang dengan dingin berkata: ''Maaf, aku tak akan bersujud pada Adam. Sebab aku merasa, perintah untukku hanya bersujud pada Bapa. Dan selain perintah itu, aku menganggap cuma sekadar ujian. Ujian untuk aku jalani dengan tabah. Sekali lagi, maaf!'' ''Sudahlah itu rahasia. Tak perlu diingat!'' kilahmu seketika. ''Rahasia?'' Kau tersenyum. "Tapi, aku tak bisa melupakannya.'' Kau tetap tersenyum. ''Si ular itu kan cerdas, pintar dan juga teguh?'' ''Tapi, sombong!" tambah kilahmu lagi. Aku tak mengerti. Sepertinya habis sudah apa yang akan aku bicarakan. Lalu (seperti biasanya), kau mendekat padaku. Terus menghisap napas kewanitaanku yang tegar. Napas kewanitaan (yang menurutmu), adalah hal yang terindah yang aku miliki. Juga hal yang akan membuat ujian kita makin memanjang. Memanjang dengan darah, keringat dan kecemburuan. Kecemburuan yang punya dua wajah: ''Wajah depan dan belakang.'' Dua wajah yang meski sama persis tapi punya aroma yang berbeda. Yang saling tukar-tangkap. Jika yang depan wangi, yang belakang busuk. Dan jika yang belakang wangi, maka yang depan pun sebaliknya. Tak tertebak. Hanya bisa ditempelkan di dinding-dinding. Seperti tempelan gambar wajah si setiap yang ingin maju. Maju dengan teriakan dan kepalan tangan. Juga dengan segenap kekuatan dan kekuasaan yang diimpikannya. Kekuatan dan kekuasaan yang katanya akan menegak. Tapi justru miring ke kiri. Mau miring ke kiri, justru mundur ke belakang dan lari. Lari untuk sembunyi di balik-balik semak. Tiarap. Lalu mati jadi tai. Tai dalam segala bentuk dan ukuran. Tai besar, kecil, dan sedang. Tai pipih, lonjong, dan kering. Bahkan, ada juga tai yang pandai memasuki mimpi kita. Memasuki secara bergerombol dan menggunduk. Menggunduk seperti gunung yang menjijikkan. Gunung yang menggeram seperti tak putus-putus. Dan yang ditinggal? Astaga, Adam, astaga, yang ditinggal akan menjadi terpontang-panting. Keblingsatan. Cuma bisa memanggil dan memanggil. Tapi memanggil siapa? Sudah tak ada lagi siapa-siapa. Hanya ada ruang kosong yang lengang. Ruang kosong yang penuh tebaran daun kering. Apa yang ditinggal itu mau makan daun kering? Ya, seperti kehilangan induk, semua yang ditinggal itu pun mencari batu. Batu yang jika dicelup ke air akan dianggap menjadi penawar. Penawar bagi yang akan menyerimpung dengan sayapnya yang bergerigi. Sayap yang tak mengenal kata ampunan. Apalagi sekadar kata maaf. Mencemaskan! Adam, kita memang telah terusir. Kita memang telah terpisah. Dan setelah kita berjumpa ini, apa masih kau inginkan tempat asal kita dulu. Tempat asal yang saat kita tinggal, tertinggal juga rongga di badan kita. Dan itu yang membuat kita begitu ingin memanjati tangga. Tangga yang akan menuju ke setiap tekuk yang mengganjal di kerahasiaan diri kita. Diri kita yang kini selalu saja diburu oleh yang berlipat-lipat. Berlipat-lipat tanpa pernah berhenti. Terus dan terus. Datang dan datang. Tanpa lelah. Tanpa bosan. Kadang dengan menunggang bandang. Kadang dengan menghela gempa dan banjir. Menjebol dan membetot. Sampai kita melihat tak ada lagi yang akan dapat beristirahat. Cuma bisa mengelak dan mengelak. Sambil mematut-matutkan wajahnya di cermin. Cermin yang telah dikeramatkan. Cermin yang telah menghablur. Cermin yang telah digosok oleh kebebalan yang kenyal. Kebebalan yang begitu bangga dengan gandulan di lehernya. Yang membuatnya seperti seekor unta yang lelah. Seekor unta yang dikitari oleh taring-taring yang bersiaga. Dan cermin yang selalu berbincang seperti ini. ''Cermin, siapa yang paling tampan?" "Kalian." ''Cermin, siapa yang paling ayu?" ''Kalian.'' ''Cermin, siapa yang paling di depan?'' ''Kalian.'' ''Dan cermin, siapa yang paling cepat kembali ke tempat asal?'' Cermin tak menjawab. Cermin pun segera ditabrak. Pecah! Dan malamnya. Tepat pukul 24.00. Di kamar rias, penghikayat itu menghapus riasan di wajahnya. Wajahnya yang lonjong dan cokelat pun kembali terlihat. Wajah yang sepertinya baru kembali dari dunia yang penuh fantasi. Dunia hikayat. Dunia yang lentur. Yang dapat mengubah setiap benda yang dipegangnya menjadi manusia, senjata atau apa saja. Dunia yang selalu dimulai dan ditutup dengan: ''Tuan-tuan dan Puan-puan, marilah kita belajar pada hikayat. Agar lebih bisa menghindari bencana!" Sedang di lantai: botol air yang tadi berperan sebagai Adam, pisang goreng sebagai Hawa, tampak teronggok. Memang Hikayat Adam dan Hawa yang dimainkannya tadi mengambil dua benda itu sebagai peraga. Dan penghikayat pun puas. Lalu, subuhnya. Tepat pukul 03.00. Di ruangan kontrakan yang berantakan. Berantakan oleh buku-buku tebal dan tipis. Buku-buku yang bergambar orang berjenggot, gundul, dan cebol. Dengan gaya gelisah, tenang, dan bahkan ada yang selalu merasa lebih kuat dari maut, penghikayat pun tampak tidur mengangkang. Matanya terpejam. Mulutnya terkatup. Sedang punggungnya melengkung seperti punggung ikan hiu yang terdampar. Ikan hiu yang jelek dan muram. Tapi, jika kita punya pandangan yang menembus, maka kita pun akan tahu, penghikayat itu sedang ngelindur. Dan di dalam ngelindur itu, ternyata si ular lagi-lagi sedang mendesis di kupingnya. Dan, kali ini, malah mencari Yang Terlarang. Yang Terlarang yang telah lama tertanam di dalamnya! (Gresik, 2009) Cerpen Mardi Luhung

Lanjutkan...... Read more...

Friday 5 June 2009

Biografi Chairil Anwar (1922 – 1949)

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam. Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.” Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya. Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda. Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis. Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.

Lanjutkan...... Read more...

Thursday 4 June 2009

Jejak kaki dalam kata

Dalam dunia sastra Indonesia, nama Korrie Layun Rampan tidaklah asing. Dalam usianya yang terbilang belum terlalu sepuh (52 tahun), ia patut disejajarkan dengan sastrawan sekelas Motinggo Busye dan Putu Wijaya dalam hal produktivitas.

Dari tangannya, sudah tercipta ratusan karya sastra baik novel, cerpen, puisi, terjemahan, naskah drama, esai, hingga kritik sastra.

Korrie juga dianggap sebagai sastrawan pelopor yang mengangkat sastra daerah–terutama Dayak–dalam karya-karyanya.

Menurut Maman S Mahayana dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang dilakukan Korrie telah menginspirasi sastrawan lainnya untuk melakukan hal yang sama. Prestasinya bukan hanya karena produktivitasnya, juga kepeloporannya dalam menghasilkan sastra daerah.

”Korrie mengisi kekosongan posisi yang ditinggalkan HB Jassin dalam upayanya melakukan pendokumentasian karya sastra,” ungkap Maman. Kontribusi terbesar Korrie bagi sastra Indonesia, lanjut Maman, adalah pendokumentasian karya sastra angkatan 2000. Ini lantas diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Leksikon Susastra Indonesia dan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia.

Bekerja sama dengan Pemda Kalimantan Timur, DKJ akhirnya menyediakan ruang terhormat untuk mengangkat karya-karya Korrie, 29-30 September, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Acara yang digelar berupa pameran, peluncuran buku, pembacaan puisi, dan cerpen serta diskusi tentang karya-karya sang sastrawan bersuara lembut itu.

”Dengan produktivitas, prestasi, dan kontribusi besarnya, kami menganggap Korrie Layun Rampan sudah sepantasnya dihadirkan dalam ajang seperti ini,” kata Maman. Selain itu akan ditampilkan juga pagelaran tarian Dayak yang temanya diangkat dari novel Korrie berjudul Api Awan Asap (1999). Novel ini pernah memenangkan sayembara mengarang roman DKJ pada 1998.

Terhadap penghargaan ini, Korrie berendah hati. ”Sejujurnya saya tidak membutuhkan hal ini, karena tujuan saya berkarya bukanlah untuk mendapatkan penghargaan,” ujarnya. Namun ia juga merasa sangat gembira dan berterima kasih karena karyanya diapresiasi seperti ini.

Korrie Layun Rampan adalah sastrawan besar berdarah Dayak asal Kalimantan Timur. Ia lahir di Samarinda, bertepatan dengan HUT ke-8 RI, yaitu 17 Agustus 1953. Ia memulai karirnya sebagai penulis pada 1971. Hingga saat ini, telah menghasilkan ratusan karya sastra yang beberapa di antaranya meraih penghargaan.

Korrie adalah sastrawan yang menggeluti beragam karya sastra. Hingga saat ini, ia telah menghasilkan 25 antologi cerpen, 10 buah novel, 50 cerita anak, 20 buku esai dan kritik sastra, termasuk 100 terjemahan cerita anak.

Lanjutkan...... Read more...

Monday 1 June 2009

Kehilangan Jejak Sapardian

Oleh: Senggrutu Singomenggolo KEHILANGAN JEJAK SAPARDIAN PADA SAJAKNYA DI KOMPAS 22 MARET 2009 - SEBILAH PISAU DAPUR YANG KAUBELI DARI PENJAJA YANG SETIDAKNYA SEMINGGU SEKALI MUNCUL BERKELILING DI KOMPLEKS, YANG SELALU BERJALAN MENUNDUK DAN HANYA SESEKALI MENAWARKAN DAGANGANNYA DENGAN SUARA YANG KADANG TERDENGAR KADANG TIDAK, YANG KALAU DITANYA BERAPA HARGANYA PASTI DIKATAKANNYA, “TERSERAH SITU SAJA…” (KADO ULTAH SAPARDI DJOKO DAMONO KE 70)

Mengenal Sapardi Djoko Damono seperti mengenal jelas jejak kreativitas saya tigapuluh tahun yang lalu hingga terakhir mengikuti matakuliah dia secara resmi dan menghasilkan tesis yang juga atas bimbingannya. Saya murid yang bengal untuk ukuran akademis karena saya tidak menguntit seratus persen segala yang dijejaki gurunya. Saya membayanginya seperti halnya sajak dia yang monumental: BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan (dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982) Begitu tegarnya penyair bahwa barat adalah arah pasti dan bayang-bayang menunjukkan arah hingga pada kesimpulan bahwa tak ada konflik baik dari sumber ilmu bayang-bayang yang membayangi kepenyairannya dan penyair sendiri. Lengkaplah pengaruh barat yang liris dan imajis itu jadi milik pribadi penyair yang nantinya akan menjadikan panutan mereka yang dikelompokkan dalam Sapardian Poets. Jumbuhnya pangroso dan roso menjadikan warna yang lekat padanya. Selain keyakinan penyair yang menyandang predikat hujan bulan Juni begitu kuyup penyair juga suka akan kolam berserta habitatnya dan yang memayungi seperti pohon jeruk. Jadi setelah terlepas dari DukaMu Abadi penyair nmerenangi dunia kolam dan hujan demikian tekun sampai pada saatnya akan menemukan mata pisau yang menjadi tonggak penyair setelah meraih jalan ke barat tanpa pertengkaran. Sajak yang berkubang kolam telah termuat pada Kompas, Minggu, 10 Juni 2007. sebuah titi mangsa yang menengarai kesukaan penyair akan bulan dan hujan. Penyair imajis liris ini telah berani bermain dengan kata sederhana karena terpengaruh atas sajak-sajak mbeling asuhan Remisilado saat masih ada majalah musik Aktuil . Maka sajaknya jadi bernarasi seperti pada sajak panjang berikut: KOLAM DI PEKARANGAN /1/ Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. la ingin sekali bisa merindukannya. Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang. la tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun. * la ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu. * Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup. /2/ Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung panting. Ia tahu ada daun jatuh, ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya Jangan ikut bergerak tinggal saja dipojok kolam itu sampai zat entah apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur ke mana pun. Air tidak punya pintu. * Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu. * Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ. /3/ Air kolam adalah jendela yang suka menengadah menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan dan dengan cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan daun dari menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain siratan dari rasa gamang dan kawatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya. Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan pohon jeruk di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan kalian di sini. Ia tak peduli lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah yang dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang bagai labirin. * Ia kini dunia. * Tanpa ibarat. Dalam sajak itu penyair tidak lagi menggunakan personifikasi yang lazim muncul pada sajak-sajak dalam DukaMu Abadi, Mata Pisau, Aquarium dan Perahu Kertas yang dengan mudah melakukan hujan yang meludah, angin berbisik, kata meruncing dan sebagainya. Daya pukau sajak Sapardi Djoko Damono pada suasana yang terbentuk imajis liris dan penuh personifikasi kadang juga menjadi metaforis. Tapi sajak di atas jauh dari swasana karena gaya narasinya dan adanya karakterisasi yang mantap pada daun yang jatuh di kolam, penghuni kolam berupa ikan yang tak pernah lelap, juga air kolam itu sendiri yang menyatu dalam suatu semesta maya rekaan penyair. Sajak yang terbaru Sapardi adalah tersiar dalam Kompas, Minggu 23 Maret 2009 tiga hari setelah Sapardi Djoko Damono menggenapi usia dengan akan mistis 69. Angka yang berkonotasi sexualitas. Angka yang menyaran pada teknik bersenggama asmara melibat menggelora. Sebuah angka fantastis, maka saya menyiapkan tulisan ini untuk menyambut angka tonggak manusia setelah selesai bekerja total dalam dunia nyata (bukan kekreatifitasan!) yakni 70. Angka yang jarang dilewati manusia dengan gagah sehat wal afiat dan lengkap. Dan tahap berikutnya adalah angka 80. Angka seratus barangkali adalah batas halusinasi manusia moderen yang tak tersengat stress. Untuk mengawali sajak pungkasan yang tersiar di media masa ada baiknya kita toleh ke belakang pada sajak penyair dengan fokus yang sama: Mata Pisau mata pisau itu tak berkejab menatapmu; kau yang baru mengasahnya berfikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam; ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu. (dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982) Sajak yang penuh personifikasi ini menyaran pada sikap Sapardi yang menengok ke barat seperti dalam sajak: BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI yang menunjukkan kemampuan filosfis Sapardi yang majing ajur ajer pada dunia rekaan barat. Pada sajak “Mata Pisau” lebih tegas lagi sikap ke-barat-an penyair dengan memilih buah apel yang di meja bukan jambu, pisang, papaya, kepel ataupun kesemek. Kalau alasan mengejar rima sajak “Mata Pisau” tidak menunjukkan adanya gejala rima pada akhiran –pel (kenapa tidak buah kepel, mangga mengkel, jeruk sebulat bola bekel?). Sikap menoleh kebarat memang tidak dapat dihindari Sapardi karena memang mempunyai dasar akademis Sastra Inggris (terutama Amerika Serikat). Bahkan baris akhir sajak itu tidak terasa kengerian pembunuhan kecuali rasa seksualitas yang halus dan tinggi. Leher jenjang dan mulus mengasosiasikan kemampuan sesualitas yang asyik. Lain dengan sajak “Akuarium” yang ada pembedah terdahulu melalui kacamata semiotika yang mengundang petanda dan penanda yang diturunkan oleh Bloomfield pada pemahaman bahasa yang terwujud karena adanya respond an stimulus, sajak yang menyaran pada etalase wanita penghibur dengan nomer pinggang yang siap melayani all out di atas ranjang. Simak sajak tersebut sebelum kita menukik ke sajak pungkasan Sapardi yang tersiar di Kompas Minggu: kau yang mengatakan: matanya ikan! kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya ikan! kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan! “Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah …” (dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982) Begitulah penyair yang saya curigai telah berbelok pada tikungan hidupnya dengan menyodorkan puisi dengan judul sepanjang satu alinea dan merunut jejaknya yang dulu dengan seragam baru. Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul Berkeliling di Kompleks, yang Selalu Berjalan Menunduk dan Hanya Sesekali Menawarkan Dagangannya dengan Suara yang Kadang Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya Berapa Harganya Pasti Dikatakannya, “Terserah Situ Saja…” /1/ takdir pun dimulai di pintu pagar sehabis kaubayar kita perlu sebilah pengganti si patah kau telah memilih pisau berasal dari rantau matanya yang redup tiba-tiba hidup /2/ bahasanya tak kaukenal tentu saja tapi dengan cermat dipelajarinya bahasamu yang berurusan dengan mengiris dan menyayat yang tak lepas dari tata cara meletakkan sayur berjajar di talenan untuk dirajang sebelum dimasukkan ke panci yang mendidih airnya dan dengan cepat dikuasainya bahasamu yang memiliki kosa kata lengkap untuk mengurus bangkai ayam membersihkan usus memotong-motongnya dan merajang hatinya /3/ ia tulus dan ikhlas belajar menerima kehadirannya di antara barang-barang yang telungkup yang telentang yang bergelantungan yang kotor yang retak yang bau sabun yang berminyak di seantero dapur /4/ segumpal daging merah sedikit darah di meja dapur di sebelah cabe berhimpit dengan bawang yang menyebabkan matanya berlinang teringat akan mangga yang tempo hari dikupasnya teringat akan apel yang kemarin dibelahnya di meja makan /5/ kau sangat hati-hati memperlakukannya waswas akan tatapannya sangat sopan menghadapinya meski kau yakin seyakin-yakinnya ia bukan keris pusaka kau sangat hati-hati setiap kali menaruhnya di pinggir tempat cuci piring takut melukai matanya /6/ kau merasa punya tugas untuk teratur mengasahnya dinantinya saat-saat yang selalu menimbulkan rasa bahagia itu inderanya jadi lebih jernih jadi lebih awas jadi lebih tegas memilah yang manis dari yang pedas meraba yang lunak di antara yang keras /7/ apa gerangan yang dibisikkannya kepada batu pengasah itu /8/ ia suka berkejap-kejap padaku, kata cucumu kau buru-buru menyeretnya menjauh dari dapur yang tiba-tiba terasa gerah /9/ ia kenal hanya selarik doa yang selalu kauucapkan sebelum memotong ikan yang masih berkelejotan kalau tanganmu gemetar memegang tangkainya ia pejamkan mata mengucapkan doa /10/ kenangannya pada api yang dulu melahirkannya menyusut ketika tatapannya semakin tajam oleh batu asah kenangannya pada landasan dan palu yang dulu menempanya kenangannya pada jari-jari kasar yang pertama kali mengelusnya kenangannya pada kata pertama si pandai besi ketika lelaki itu melemparkannya ke air yang mengeluarkan suara aneh begitu tubuhnya yang masih membara tenggelam dan mendingin kenangannya pada benda-benda yang telah melahirkannya semakin redup ketika saat ini ia merasa sepenuhnya tajam seutuhnya hidup /11/ dua sisi matanya tak pernah terpejam sebelah menatapmu sebelah berkedip padaku jangan pernah tanyakan makna tatapan yang melepaskan isyarat seperti bintik-bintik cahaya yang timbul-tenggelam di sela-sela gema di sela-sela larik-larik Kitab yang menjanjikan sorga bagi kita /12/ ujungnya menunjuk ke Sana? diam-diam terucap pertanyaanmu itu menjelang subuh : matanya tampak berlinang dari sudut-sudutnya muncul gelembung-gelembung darah satu demi satu pecah : satu demi satu pecah : satu demi satu pecah : lantunan azan Begitu bersahajanya sajak ini mengingatkan puisi-puisi mbeling tahun tujuhpuluhan di majalah musik Aktuil yang digawangi oleh 23761. Ketegasan memilih pisau rantau dengan bahasanya yang perlu dipelajari dan pengulangan penggunaan kosa kata apel lagi menjadi jembatan kekreatifan penyair walau sebagai pembaca yang pernah menguntit jejak kepenyairannya merasa kehilangan jejak liris imajis personifikasi menjadi jujur terbuka dan sederhana dengan pilihan kata yang biasa. Biasa oleh penyair mbeling yang mencoba mentak-sakralkan puisi, tapi puisi Sapardi tetap suci sesuci air perwitasari yang diburu Bima dan ketemu Dewa Ruci: Gila saya dituntun memasuki labirin baru Sapardi Djoko Damono!

Lanjutkan...... Read more...

Wednesday 13 May 2009

Aku tak tahu harus memulai dimana..
Memulai dimana aku akan melupakannya.. Memulai menghapus rasa.. Menghapus kisah… Menghapus cinta Aku sungguh tak tahu… Seberapa kekuatanku untuk memulai… Apalagi apakah aku sanggup mengahiri… Tiap kali mata kupejamkan… Menghalau bayangmu… Tetes-tetes darah kehidupan seolah menjauhiku.. Setiap kali aku melarikan diri menghapus jejakmu Hampa mendekapku erat…. Setiap aku rebahkan kekuatanku.. Rebahkan segala dayaku Tuk lepaskanmu.. Nafas hidupku berlari kencang menjauh…dariku Ketika kuhirup nafas harapkan ketenangan.. Aku hanya diberi kesesakan… Aku sungguh tak tahu… Dari mana harus kumulai jalan ini.. Dari mana harus kubuka suatu hari.. Tanpamu lagi… Andai aku punya kuatku…. Ingin ku hentikan badai taufan.. cinta padamu Andai aku punya daya…. Ingin ku ratakan gunung rinduku… Andai aku punya benci… Ingin ku akhiri semua ini.. Sayang,,,,, Aku tak punya semua itu…
Yang kupunya…
Hanya satu…. Aku cinta padamu… Cinta yang telah membunuhku dalam hidup.. Cinta yang menghidupkanku dari kematian tanpamu…

Lanjutkan...... Read more...

Thursday 12 March 2009

Magnet Hati

Telah berapa jauh kita melangkah; mendaki masalah, melipir di kelokan musibah, berkelit dari alpa atau sekedar memungkiri dosa? Semua itu tak akan sanggup menghalau kekuatan magnet hati kita; ia menarik diri kita sebelum terjerembab jatuh, atau menghisap jiwa kita saat kekuatan magnetik lain tak berdaya apa-apa lagi dan meninggalkan kita sendirian di kegelapan pojok penyesalan.
Hati merengkih kita lagi, memanggil pulang untuk berpeluh erat dengan suara terdalam dari jiwa yang tak pernah bisa dikalahkan. Itulah suara hati. Lalu, kitapun menginsyafi hal-hal yang tak pernah benar-benar kita sadari; bahwa dari sekian banyak kekuatan magnetik yan menarik diri kita, tak ada yang sungguh-sungguh "memeluk" erat. mereka sekedar menghisap kesadaran kita, lalu mencampakkan sepahnya ditengah situasi yang telah serba telanjur. Tetepi hati, entah untuk kali yang keberapa, menarik kita, memberi peluh tulusnya yang lebih sering kita curigai--bahkan kita enyahkan agar tak menguntit kemana kita pergi. Hati adalah inti diri, tempat segala jenis kabel remote control terhubung keseluruh elemen kedirian kita. Jika kita membiarkan hati bersepuh karat, berhubung kita tak pernah benar-bener percaya pada ketulusan daya magnetiknya, kabel-kabel itupun mati, tak berfunsi sebagai mana mestinya. Inilah alasan di balik suka ria kita saat meggelontorkan detik demi detik dalam kesia-siaan. Suka ria yang kita sangkakan sebagai magnet; pada hal tak lebih dari mesin vacuum kleaner yang menyedot habis waktu kita secara percuma. kita pun tak pernah benar-benar mampu melawan ketulusan daya magnetik hati, saat di tengah suka ria itu, misalnya , kita mendapat kabar tentang musibah yang berhubungan dengan keluarga kita. Hati sekedar menyelinap kasih murninya, sebelum kita menguburkan dalam liang gelap kesadaran kita. kita ingin tak tersentak, mencoba mampu untuk tak kaget, menghalaunya dengan sisa-sisa keriaan, tapi semunya sia-sia. Magnet hati terlalu murni untuk kita ingkari.

Lanjutkan...... Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP