Friday 12 June 2009

Senandung Hujan

Puisi ini sebenarnya cukup disampaikan oleh bait terakhir saja. Dua bait sebelumnya justru malah menghilangkan maksud yang hendak disampaikan—rumit dan membingungkan.

(Kutemukan bayangmu tak lagi menjelma riuh gemericik hujan)

Bait ini cukup terang. Kau di sana adalah sebuah bayang yang tak lagi menjelma riuh gemericik hujan. Tapi begitu memasuki baris kedua, saya sebagai pembaca mengalami kebingungan

(Seperti seringkali kau menangkap kerinduan di balik rinainya)

Kalimat ini jika berdiri sendiri dia memang bisa dibaca dan terang maknanya. Tetapi jika dikaitkan dengan baris sebelumnya, kata “seperti” di baris kedua ini tidak berkaitan dengan baris yang mendahuluinya. Coba mari kita cermati lagi. Si aku lirik menangkap bayang seseorang yang tidak lagi seperti dulu (riuh gemericik hujan), seperti seseorang tersebut menangkap kerinduan di balik rinainya. Logika kalimat dasar perumpamaan “A seperti B”, atau “sesuatu seperti C”, sama sekali tidak saya temukan dalam 2 kalimat tersebut. Bagi saya, jalinan kalimat tersebut tidak bisa dimengerti. Indah. Tapi tak berarti apa-apa.

(Dan semilir yang setia menggugurkan cemas kering dedaunan Bukan lagi basah yang kian menggenang di balik kelopak mataku)

Kalimat berikutnya juga mengalami hal yang serupa. Saya coba memeriksanya beberapa kali dan mengalami kebingungan yang sama dengan baris sebelumnya.

(Dan semilir yang setia menggugurkan cemas kering dedaunan)

Pertanyaan adalah apanya yang ‘semilir’? Angin? Mungkin karena biasanya kata semilir menyertai angin. Tapi bisa juga tidak. Dan semilir tidak sama dengan angin. Kemudian ‘kecemasan’ yang datang dari mana? ‘Kering dedaunan’ sedang menggambarkan apa? Tentu saja sebagai kalimat yang berdiri sendiri ia tak mengalami persoalan apa-apa. Tetapi begitu dikaitkan dengan baris sebelumnya, dan baris-baris selanjutnya, persoalan pemaknaan mulai muncul. Apalagi dengan tegas penulis mengaitkannya dengan menggunakan kata ’dan’ di awal kalimat. Apa hubungannya dengan 2 kalimat pertama yang juga belum terjelaskan itu?

(Bukan lagi basah yang kian menggenang di balik kelopak mataku)

Kalimat berikutnya nampaknya koheren dengan kalimat sebelumnya. Ia mencoba menerangkan. Tapi berhubung yang diterangkannya masih bermasalah, maka ia jadi tak berarti apa-apa. Kepekatan puitik berbeda dengan kegelapan yang dihasilkan oleh sesat pikir atau cacat logika. Apa yang dimaksud dengan “bukan lagi” di dalam kalimat tersebut? “bukan lagi” tidak ditampilkan dalam kalimat sebelumnya, tapi mewujud di kalimat berikutnya seolah-olah pembaca sudah mengetahui apa yang dimaksud oleh penyairnya. 4 baris di bait pertama ini seperti lanturan yang tak berujung pangkal, tak berkait satu sama lain. Tampaknya saja berkaitan hanya karena mereka dikelompokkan. Tampaknya saja indah, tetapi tak menyampaikan apa-apa.

Bait kedua saya rasa meruntuhkan bait pertama yang sudah runtuh sejak semula.

(Badai yang datang tak getarkan liar ilalang di hatiku Petir bersahutan tak menghapuskan hamparan lapang Satu dua bocah berbasah riang ditingkah derasnya hujan Dan perjalanan kali ini seolah tak menyisakan apa-apa)

“Badai” dan “petir “yang datang dari manakah? Bait pertama bukankah seakan sedang menggambarkan kekeringan, seakan sedang menolak hujan, atau kehilangan hujan? Hujan memang terus disebutkan di bait pertama, tapi dalam keadaan tak lagi berlangsung. Bait kedua sebenarnya selamat dalam hal logika. Kalimat-kalimatnya saling menunjang satu sama lain. Tapi ada kejutan di kalimat terakhir:

(Dan perjalanan kali ini seolah tak menyisakan apa-apa)

O, sedang dalam perjalanan rupanya. “mengejutkan” memang, karena sama sekali tak ada tanda-tanda sebelumnya.

Lalu puisi ini dilanjutkan atau ditutup lagi oleh kalimat:

(: Seperti kepulanganmu yang terlalu deras untuk kurindukan)

Dan ternyata puisi ini adalah perihal kepulangan seseorang yang terlalu deras untuk dirindukan. Tapi terlalu deras di sini tak cukup menjelaskan. Apakah dengan kederasan tersebut dia bisa tetap dirindukan atau tidak.

Puisi bukanlah sejumlah otak-atik bahasa atau kata yang indah. Ia hendak menyampaikan sesuatu. Pertaruhannya adalah bagaimana ia menyampaikan sesuatu itu dengan cara yang luar biasa. Bisa jadi tak indah, tapi ia menyentuh. Puisi hanya cara menyampaikan. Ia bukan tujuan. Puisi juga tak identik dengan berindah-indah, dituliskan dengan kalimat yang rumit, juga metafora yang gelap. Puisi adalah cara kita menyampaikan hal-hal yang kita lihat dan rasakan, bukan sekadar permainan kata belaka. Bisa saja memang kita mencipta puisi lewat permainan kata. Tetapi apa yang tercipta dari permainan tersebut tentu saja harus kita pertanggungjawabkan. Menulis puisi bukan lempar batu sembunyi tangan. Sembunyi di balik kegelapan makna dan ketidakjelasan arti dan maksud.

Mungkin penulis harus mencoba memulai dari yang sederhana saja. Tidak berumit-rumit lalu malah tersesat dan menyesatkan pembaca. Puisi juga bisa sederhana dan apa adanya. Dan keindahan akan lahir dengan sendirinya.

Lanjutkan...... Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP