Friday 19 June 2009

Bodoh Itu Modis

“Kapan tepatnya kebodohan menjadi sesuatu yang modis? Itu satu hal yang sama sekali tidak bisa kumengerti. Pengkultusan Idiot. Penaikan Derajat pada Orang Bego. Dua novelis paling laris kami, aktris yang payudaranya besar dan orang gila mantan tentara itu, tidak pernah menulis sepatah katapun kau tahu?” “Cara bicaramu seperti orang yang sudah tua, Roy,” ujarku padanya.”Orang-orang sudah mengeluh soal penurunan standar itu sejak Shaskepeare menulis komedi.”

Cuplikan antara tokoh Aku dan Roy Quigley di atas sengaja saya kutip dari novel The Ghost karangan Robert Harris sebagai pembuka dari tulisan saya kali ini. Dalam cuplikan dialog pendek, eh bukan pendek deh tapi sangat pendek di atas tergambar bagaimana pendapat kedua tokoh di atas yang kontrdiktif mengenai masalah yang akan saya ulas. (aduh… gaya pisan urang geus kawas pakar naon kituh….) Bodoh itu modis. Setujukah kita dengan pendapat di atas? Jawabannya tergantung pada pribadi masing-masing. (hehe kalimat standar dari seorang penulis amatir….) Tapi kalo saya pribadi sih cukup setuju dengan kalimat di atas. Maaf buat para dulur yang gak setuju. Tapi saya punya alesan tersendiri kenapa bodoh itu bisa dikatakan modis. Bukan karena saya bodoh tapi terlihat modis tentunya (kalo yang ini sih terserah mau nilainya gimana, weh weh weh….) Bodoh, tolol, bego, atau apalah namanya itu buat saya terasa modis karena kebodohan bisa diconvert menjadi sesuatu yang ‘pintar’ melebihi kepintaran itu sendiri. Kalo gak percaya sebaiknya kita tanya om Einstein aja. "The secret of creativity is knowing how to hide your sources." Tuh bener teu? Kata Om Einstein aja rahasia kreativitas itu tahu bagaimana menyembunyikan potensi, singkatnya jadi bodoh. Jadi kalo ada yang beranggapan bodoh itu modis, itu bener banget Albert Einstein aja percaya kalo jalan untuk menjadi kreatif tu harus dilalui dengan menjadi bodoh terlebih dahulu. Karena sudah jadi kodrat kalo manusia itu bodoh. Jadi jangan heran kalo di jaman sekarang ini orang mulai jenuh dengan sesuatu yang pintar, kemudian beralih melakukan tindakan-tindakan bodoh. Bahkan sampai kebodohan terekstrim ala JACKASS. Salut saya ama Jonny Knoxvile dan kawan-kawan yang sanggup mengeksploitasi kebodohan sampe dasar-dasarnya. Satu hal yang istimewa dari orang bodoh. Orang bodoh tidak akan kecewa ketika menemukan dirinya menjadi pintar di suatu hari, tapi orang pintar tidak selalu menerima ketika suatu saat dirinya mendadak bodoh. Jadi teruslah menjadi orang bodoh yang selalu mencari kepintaran di depannya. Jangan berhenti merasa diri kita ini bodoh karena, dengan merasa bodoh kita akan terus mencari jalan menjadi pintar. So, Be Stupid in a smart way

Lanjutkan...... Read more...

Antara Sandiwara, Sastra, Dan Pemilu

Betapa pun geniusnya seseorang tapi bila menjelaskan sesuatu hal terkadang kata-kata yang menghiasi bibirnya merujuk ke arah tak pasti. Sebutlah kata-kata “kemungkinan”, “biasanya”, “tidak biasanya”, “sepertinya”, “kayaknya”, dan lain-lain. Kata-kata seperti ini dengan semena-mena digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal dan perihal.Semua orang ingin berbicara, ingin disebut serba tahu, walau hanya sok tahu, ingin disebut paling taat peraturan, taat hukum dan tahu hukum. Sayangnya banyak dari mereka tak tahu diri. Begitulah.

Semuanya ingin seperti para pengacara, bermain kata-kata. Bila mereka tidak bisa memecahkan sesuatu masalah, mereka membuat konsep-konsep aneh. Jalaluddin Rakhmat menyebutnya sebagai konsep instink(naluri). Mengapa perempuan berhias? Karena ia memiliki naluri keperempuanan. Mengapa laki-laki senang kepada perempuan? Karena ia memiliki naluri kelaki-lakian (Maaf! Ada sebagian laki-laki yang tak punya naluri terhadap perempuan, misal Ryan-Sang Penjagal dari Jombang beserta “habitatnya”). Seorang ahli bahasa dari Massachusets Institute of Technology bernama Noam Chomsky menyebut gejala ini sebagai “Play-acting at science” (bermain sandiwara dalam ilmu). Akhir-akhir ini gejala itu kian menggejala. Tapi kali ini saya menyederhanakan istilah Noam Chomsky “Play-acting at science” menjadi “Play-acting at words” (bermain sandiwara dalam kata-kata), atau cukup “Play acting” (bersandiwara). Seiring dengan datangnya Pemilu, pun gejala ini semakin merajalela. Bermain-main kata dan bermain kata-kata Fenomena yang sangat menarik menjelang pemilu adalah fenomena bermain-main kata dan bermain kata-kata. Sandiwara kata-kata itu sebagai lipstik untuk memenangkan dan menyenangkan hati pemilih. Lihatlah para kandidat bermain-main kata! Karena namanya Rahman, ia mengaku paling mengasihi rakyat miskin, Rahman dalam bahasa Arab memang berarti pengasih. Ataukah karena namanya Rahim, ia berkoar-koar paling menyayangi rakyat kecil. Lalu lihatlah pula para kandidat lainnya bermain kata-kata, mereka membuat akronim-akronim “aneh” seperti “Obama??%9

Lanjutkan...... Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP