Monday 1 June 2009

Kehilangan Jejak Sapardian

Oleh: Senggrutu Singomenggolo KEHILANGAN JEJAK SAPARDIAN PADA SAJAKNYA DI KOMPAS 22 MARET 2009 - SEBILAH PISAU DAPUR YANG KAUBELI DARI PENJAJA YANG SETIDAKNYA SEMINGGU SEKALI MUNCUL BERKELILING DI KOMPLEKS, YANG SELALU BERJALAN MENUNDUK DAN HANYA SESEKALI MENAWARKAN DAGANGANNYA DENGAN SUARA YANG KADANG TERDENGAR KADANG TIDAK, YANG KALAU DITANYA BERAPA HARGANYA PASTI DIKATAKANNYA, “TERSERAH SITU SAJA…” (KADO ULTAH SAPARDI DJOKO DAMONO KE 70)

Mengenal Sapardi Djoko Damono seperti mengenal jelas jejak kreativitas saya tigapuluh tahun yang lalu hingga terakhir mengikuti matakuliah dia secara resmi dan menghasilkan tesis yang juga atas bimbingannya. Saya murid yang bengal untuk ukuran akademis karena saya tidak menguntit seratus persen segala yang dijejaki gurunya. Saya membayanginya seperti halnya sajak dia yang monumental: BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan (dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982) Begitu tegarnya penyair bahwa barat adalah arah pasti dan bayang-bayang menunjukkan arah hingga pada kesimpulan bahwa tak ada konflik baik dari sumber ilmu bayang-bayang yang membayangi kepenyairannya dan penyair sendiri. Lengkaplah pengaruh barat yang liris dan imajis itu jadi milik pribadi penyair yang nantinya akan menjadikan panutan mereka yang dikelompokkan dalam Sapardian Poets. Jumbuhnya pangroso dan roso menjadikan warna yang lekat padanya. Selain keyakinan penyair yang menyandang predikat hujan bulan Juni begitu kuyup penyair juga suka akan kolam berserta habitatnya dan yang memayungi seperti pohon jeruk. Jadi setelah terlepas dari DukaMu Abadi penyair nmerenangi dunia kolam dan hujan demikian tekun sampai pada saatnya akan menemukan mata pisau yang menjadi tonggak penyair setelah meraih jalan ke barat tanpa pertengkaran. Sajak yang berkubang kolam telah termuat pada Kompas, Minggu, 10 Juni 2007. sebuah titi mangsa yang menengarai kesukaan penyair akan bulan dan hujan. Penyair imajis liris ini telah berani bermain dengan kata sederhana karena terpengaruh atas sajak-sajak mbeling asuhan Remisilado saat masih ada majalah musik Aktuil . Maka sajaknya jadi bernarasi seperti pada sajak panjang berikut: KOLAM DI PEKARANGAN /1/ Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. la ingin sekali bisa merindukannya. Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang. la tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun. * la ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu. * Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup. /2/ Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung panting. Ia tahu ada daun jatuh, ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya Jangan ikut bergerak tinggal saja dipojok kolam itu sampai zat entah apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur ke mana pun. Air tidak punya pintu. * Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu. * Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ. /3/ Air kolam adalah jendela yang suka menengadah menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan dan dengan cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan daun dari menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain siratan dari rasa gamang dan kawatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya. Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan pohon jeruk di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan kalian di sini. Ia tak peduli lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah yang dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang bagai labirin. * Ia kini dunia. * Tanpa ibarat. Dalam sajak itu penyair tidak lagi menggunakan personifikasi yang lazim muncul pada sajak-sajak dalam DukaMu Abadi, Mata Pisau, Aquarium dan Perahu Kertas yang dengan mudah melakukan hujan yang meludah, angin berbisik, kata meruncing dan sebagainya. Daya pukau sajak Sapardi Djoko Damono pada suasana yang terbentuk imajis liris dan penuh personifikasi kadang juga menjadi metaforis. Tapi sajak di atas jauh dari swasana karena gaya narasinya dan adanya karakterisasi yang mantap pada daun yang jatuh di kolam, penghuni kolam berupa ikan yang tak pernah lelap, juga air kolam itu sendiri yang menyatu dalam suatu semesta maya rekaan penyair. Sajak yang terbaru Sapardi adalah tersiar dalam Kompas, Minggu 23 Maret 2009 tiga hari setelah Sapardi Djoko Damono menggenapi usia dengan akan mistis 69. Angka yang berkonotasi sexualitas. Angka yang menyaran pada teknik bersenggama asmara melibat menggelora. Sebuah angka fantastis, maka saya menyiapkan tulisan ini untuk menyambut angka tonggak manusia setelah selesai bekerja total dalam dunia nyata (bukan kekreatifitasan!) yakni 70. Angka yang jarang dilewati manusia dengan gagah sehat wal afiat dan lengkap. Dan tahap berikutnya adalah angka 80. Angka seratus barangkali adalah batas halusinasi manusia moderen yang tak tersengat stress. Untuk mengawali sajak pungkasan yang tersiar di media masa ada baiknya kita toleh ke belakang pada sajak penyair dengan fokus yang sama: Mata Pisau mata pisau itu tak berkejab menatapmu; kau yang baru mengasahnya berfikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam; ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu. (dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982) Sajak yang penuh personifikasi ini menyaran pada sikap Sapardi yang menengok ke barat seperti dalam sajak: BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI yang menunjukkan kemampuan filosfis Sapardi yang majing ajur ajer pada dunia rekaan barat. Pada sajak “Mata Pisau” lebih tegas lagi sikap ke-barat-an penyair dengan memilih buah apel yang di meja bukan jambu, pisang, papaya, kepel ataupun kesemek. Kalau alasan mengejar rima sajak “Mata Pisau” tidak menunjukkan adanya gejala rima pada akhiran –pel (kenapa tidak buah kepel, mangga mengkel, jeruk sebulat bola bekel?). Sikap menoleh kebarat memang tidak dapat dihindari Sapardi karena memang mempunyai dasar akademis Sastra Inggris (terutama Amerika Serikat). Bahkan baris akhir sajak itu tidak terasa kengerian pembunuhan kecuali rasa seksualitas yang halus dan tinggi. Leher jenjang dan mulus mengasosiasikan kemampuan sesualitas yang asyik. Lain dengan sajak “Akuarium” yang ada pembedah terdahulu melalui kacamata semiotika yang mengundang petanda dan penanda yang diturunkan oleh Bloomfield pada pemahaman bahasa yang terwujud karena adanya respond an stimulus, sajak yang menyaran pada etalase wanita penghibur dengan nomer pinggang yang siap melayani all out di atas ranjang. Simak sajak tersebut sebelum kita menukik ke sajak pungkasan Sapardi yang tersiar di Kompas Minggu: kau yang mengatakan: matanya ikan! kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya ikan! kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan! “Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah …” (dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982) Begitulah penyair yang saya curigai telah berbelok pada tikungan hidupnya dengan menyodorkan puisi dengan judul sepanjang satu alinea dan merunut jejaknya yang dulu dengan seragam baru. Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul Berkeliling di Kompleks, yang Selalu Berjalan Menunduk dan Hanya Sesekali Menawarkan Dagangannya dengan Suara yang Kadang Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya Berapa Harganya Pasti Dikatakannya, “Terserah Situ Saja…” /1/ takdir pun dimulai di pintu pagar sehabis kaubayar kita perlu sebilah pengganti si patah kau telah memilih pisau berasal dari rantau matanya yang redup tiba-tiba hidup /2/ bahasanya tak kaukenal tentu saja tapi dengan cermat dipelajarinya bahasamu yang berurusan dengan mengiris dan menyayat yang tak lepas dari tata cara meletakkan sayur berjajar di talenan untuk dirajang sebelum dimasukkan ke panci yang mendidih airnya dan dengan cepat dikuasainya bahasamu yang memiliki kosa kata lengkap untuk mengurus bangkai ayam membersihkan usus memotong-motongnya dan merajang hatinya /3/ ia tulus dan ikhlas belajar menerima kehadirannya di antara barang-barang yang telungkup yang telentang yang bergelantungan yang kotor yang retak yang bau sabun yang berminyak di seantero dapur /4/ segumpal daging merah sedikit darah di meja dapur di sebelah cabe berhimpit dengan bawang yang menyebabkan matanya berlinang teringat akan mangga yang tempo hari dikupasnya teringat akan apel yang kemarin dibelahnya di meja makan /5/ kau sangat hati-hati memperlakukannya waswas akan tatapannya sangat sopan menghadapinya meski kau yakin seyakin-yakinnya ia bukan keris pusaka kau sangat hati-hati setiap kali menaruhnya di pinggir tempat cuci piring takut melukai matanya /6/ kau merasa punya tugas untuk teratur mengasahnya dinantinya saat-saat yang selalu menimbulkan rasa bahagia itu inderanya jadi lebih jernih jadi lebih awas jadi lebih tegas memilah yang manis dari yang pedas meraba yang lunak di antara yang keras /7/ apa gerangan yang dibisikkannya kepada batu pengasah itu /8/ ia suka berkejap-kejap padaku, kata cucumu kau buru-buru menyeretnya menjauh dari dapur yang tiba-tiba terasa gerah /9/ ia kenal hanya selarik doa yang selalu kauucapkan sebelum memotong ikan yang masih berkelejotan kalau tanganmu gemetar memegang tangkainya ia pejamkan mata mengucapkan doa /10/ kenangannya pada api yang dulu melahirkannya menyusut ketika tatapannya semakin tajam oleh batu asah kenangannya pada landasan dan palu yang dulu menempanya kenangannya pada jari-jari kasar yang pertama kali mengelusnya kenangannya pada kata pertama si pandai besi ketika lelaki itu melemparkannya ke air yang mengeluarkan suara aneh begitu tubuhnya yang masih membara tenggelam dan mendingin kenangannya pada benda-benda yang telah melahirkannya semakin redup ketika saat ini ia merasa sepenuhnya tajam seutuhnya hidup /11/ dua sisi matanya tak pernah terpejam sebelah menatapmu sebelah berkedip padaku jangan pernah tanyakan makna tatapan yang melepaskan isyarat seperti bintik-bintik cahaya yang timbul-tenggelam di sela-sela gema di sela-sela larik-larik Kitab yang menjanjikan sorga bagi kita /12/ ujungnya menunjuk ke Sana? diam-diam terucap pertanyaanmu itu menjelang subuh : matanya tampak berlinang dari sudut-sudutnya muncul gelembung-gelembung darah satu demi satu pecah : satu demi satu pecah : satu demi satu pecah : lantunan azan Begitu bersahajanya sajak ini mengingatkan puisi-puisi mbeling tahun tujuhpuluhan di majalah musik Aktuil yang digawangi oleh 23761. Ketegasan memilih pisau rantau dengan bahasanya yang perlu dipelajari dan pengulangan penggunaan kosa kata apel lagi menjadi jembatan kekreatifan penyair walau sebagai pembaca yang pernah menguntit jejak kepenyairannya merasa kehilangan jejak liris imajis personifikasi menjadi jujur terbuka dan sederhana dengan pilihan kata yang biasa. Biasa oleh penyair mbeling yang mencoba mentak-sakralkan puisi, tapi puisi Sapardi tetap suci sesuci air perwitasari yang diburu Bima dan ketemu Dewa Ruci: Gila saya dituntun memasuki labirin baru Sapardi Djoko Damono!

Lanjutkan...... Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP